Sabtu, 14 Agustus 2010

Komunitas ala Rock n' Roll

Ian Antono dan Achmad Albar. Di belakang ada Donny Fattah dan Abadi Soesman, formasi Cermin yang melegenda.
Ian Antono dan Achmad Albar. Di belakang ada Donny Fattah dan Abadi Soesman, plus Yaya Moektio formasi Cermin yang melegenda.
Mereka yang lahir tahun70-an pasti pernah mengalami naiknya pamor rock dalam perbendaharaan musik Indonesia. Konser grup rock di kota kami tahun 1988 dan 1990 sangatlah ditunggu. Bukan Metallica, bukan pula GNR. Tapi God Bless. Sayalah orangnya yang tidak kesampaian nonton dua konser itu. Alkisah, sebuah corong komunikasi musik di dunia bernama Rolling Stone (RS) diboyong oleh Andi F. Noya ke Indonesia 4 tahun yang lalu. Tak menyangka majalah itu menjadi provokator yang sempurna bagi saya untuk dapat melihat God Bless di panggung pada akhinya. Memberi kesempatan menyaksikan Ahmad Albar menyanyi dengan suaranya bulat yang liat dan gahar pada nada-nada tertentu, yang pernah terlewat pada tahun 1988 saat mereka konser untuk album Semut Hitam dan tahun 1990 untuk album Raksasa.

Mengapa God Bless? Lagu-lagu God Bless adalah pilihan sempurna bagi band kami yang ingin mengekspresikan jiwa ‘heavy metal’ kala itu. Tentu saja disamping lagu-lagi Gito Rollies, Bangkit Sanjaya, Ikang Fawzi dan beberapa band luar negeri seperti Judas Priest, Deep Purple, Scorpion, dan tak ketinggalan pemilik ‘The Final Count Down’ Europe. Syair-syair God Bless yang dahsyat dan ‘bergizi’ (kata Ian antono dalam wawancaranya dengan Rolling Stone) dipadu dengan komposisi yang melodius, gagah dan berkarakter adalah jawabannya.
Majalah Rolling Stone tahu benar bagaimana mengemas rock dalam sebuah pengalaman jurnalistik, nostalgia dan konser hidup (live). Dimulai dari konser internal yang tidak banyak dipublikasikan sebelumnya, ulasan di media, sampai akhirnya Private Party yang bertajuk ‘Rock N Roll Propaganda’ merupakan sebuah rangkaian stimuli nostalgia yang menyatukan pecinta rock Indonesia malam itu dan datang di gedung Rolling Stone yang indah.
God Bless dan Edane, magnet rock tahun 80-an masih menjadi daya tarik kehadiran saya dan banyak kawan yang lain. Kerumunan pada malam yang sekaligus even penobatan Rolling Stone editor’s choice Award itu memang dipancing juga oleh Alexa dan Cangcuter yang tampil tak kalah gemilang.
Private Party ini membuat saya tersenyum lebar. Tersenyum untuk bekerjanya sebuah komunikasi yang terancang baik. Tersenyum untuk perpaduan unik yang belum pernah saya rasakan: konser rock dan pesta makan-malam! Tersenyum untuk Eet Syahrani yang tampil memukau di pembukaan dan Godbless yang setua itu namun masih menyisakan kekuatannya.
Sayangnya malam itu kita tidak bisa jingkrak-jingkrak karena harus menjaga goody-bag berisi kaos Rock N Roll Propaganda yang sangat bagus, dompet yang anak muda ‘banget,’ block note Rolling Stone (konser atau seminar ya?), sticker dan pembatas buku (Wow … manis sekali). Lagi-lagi rock dan goody bag menjadi perpaduan yang membuat saya semakin lebar tersenyum! Tapi bukankah ini bukan konser, tapi private party?
Bagi saya, kerja komunikasi dalam acara ini sangat berhasil. meskipun dari segi bisnis entahlah … karena dengan harga Rp. 357 ribu boleh menonton grup-grup berkelas itu, berlangganan majalah Rolling Stone selama 12 bulan, makan malam dan minum sepuasnya disertai pemberian barang souvenir, sesungguhnya tidak masuk dalam kalkulasi dagang model apapun. Lagi-lagi inilah kerja image. Sponsor mau saja membiayai perhelatan semacam ini karena logika bisnisnya bukanlah logika eceran melainkan membangun image yang berguna dalam jangka panjang. Itu hanya mungkin di dunia komunikasi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar